Friday, April 07, 2006

Perlukah Peranan Deplu di Daerah?

By Perry PADA

Representasi kehadiran institusi – institusi luar negeri dengan berbagai macam bentuk dan labelnya telah lama beroperasi di berbagai propinsi / daerah di Indonesia. Tampaknya hal ini merupakan konsekuensi logis atas tuntutan globalisasi dan komitmen-komitmen yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dengan berbagai institusi internasional dalam berbagai aspek yang tidak dapat dihindari. Sebagai contoh sebut saja badan internasional seperti kantor perwakilan-perwakilan asing negara – negara sahabat, badan - badan PBB, Lembaga Non Pemerintah lintas nasional dan nasional yang berafiliasi dengan badan-badan internasional, kantor – kantor proyek bantuan dan kerjasama internasional ataupun perusahaan-perusahaan multi nasional, seperti misalnya a.l. Freeport di Papua, Exxon di Aceh, Mobil Oil dan lain sebagainya yang saat ini berjumlah cukup besar.

Persinggungan langsung antara kepentingan daerah dan proyek asing di daerah serta dampaknya terhadap proses kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di daerah, tampaknya kurang mendapat perhatian para penyusun kebijakan nasional. Sebenarnya dengan semakin maraknya kehadiran unsur asing di daerah merupakan tantangan dan kesempatan positif bagi pelaksanaan Politik Luar Negeri kita. Namun sayangnya upaya menuju kearah itu masih berada dalam ranah diskursus serta implementasinya masih terbentur kepada kuatnya arogansi sektoral dan birokrasi.

Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa globalisasi menuntut penyesuaian kebijakan dan program pembangunan dan hal tersebut merupakan suatu kebutuhan nasional yang tidak dapat dihindari dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di berbagai level kehidupan masyarakat, khususnya ketika bersentuhan dengan unsur luar negeri. Persoalannya adalah sejauh mana Negara lewat pemerintah mampu menyusun suatu kebijakan dan program guna memberdayakan masyarakat khususnya di level daerah/provinsi sehingga mampu dalam meraih kesempatan dari dan sekaligus menghindari kerugian akibat gencarnya arus globalisasi. Berangkat dari pemahaman tersebut maka dibutuhkan suatu sinergi yang “integrated” antara pusat dan daerah serta luar negeri dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional secara menyeluruh.

Pendekatan Intermestik dan diplomasi publik

Dalam kaitan ini penting kita melihat kembali referensi akademis klasik karya James Rosenau (Toward the Study of National and International Lingkages) yang disempurnakan oleh Robert D. Putnam (Diplomacy and Domestic Politics : The Logic of Two level Games) yang keduanya menekankan tesis yang sama yaitu adanya keterkaitan erat antara faktor-faktor domestik dan sukses tidaknya peran diplomasi suatu Negara. Mereka sependapat bahwa dibutuhkan berbagai strategi penyesuaian faktor-faktor domestik guna memperoleh posisi dalam percaturan internasional. Kemampuan penanganan masalah-masalah domestik dengan dan melalui penyesuaian struktur dan kebijakan akan sangat menentukan kiprah berhasil tidaknya ‘foreign policy’ suatu Negara.

Dalam menanggapi mengglobalnya setiap isu domestik dan akibat dari munculnya pemain-pemain baru di bidang hubungan luar negeri, Menlu R.I. DR. N. Hasan Wirajuda dalam berbagai kesempatan di forum-forum nasional selalu meyampaikan mengenai pentingnya melaksanakan diplomasi total dengan mensitir ucapan Bung Hatta (Desember 1945) yang mengatakan bahwa politik luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam negerinya dan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia guna memperoleh hasil diplomasi yang maksimum.


Oleh karenanya menurut Menlu, Diplomasi total akan berhasil apabila melalui 2 (dua) bentuk pendekatan yang sling melengkapi yaitu pertama pemahaman faktor “Intermestik” yaitu kemampuan untuk mendekatkan jarak antara faktor internasional dan faktor domestik dan yang kedua adalah diplomasi public yaitu kemampuan mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri sehingga baik langsung maupun tidak langsung dapat tercipta suatu kebulatan pendapat dari semua komponen bangsa guna menentukan sikap dalam menghadapi dunia luar.

Dengan kedua cara inilah dapat dihindari fragmentasi opini publik di tingkat nasional. Lebih jauh diplomasi publik juga merupakan suatu upaya agar kebijakan luar negeri dapat lebih menyentuh kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sehingga hasil dan manfaat dari suatu kebijakan luar negeri dapat dirasakan oleh berbagai elemen masyarakat Indonesia. Selama ini dirasakan bahwa ‘foreign policy’ adalah kebijakan yang elitis yang tidak membumi, sementara itu Deplu berdiri sebagai menara gading. Sebagai contoh masalah tentang keputusan Indonesia untuk mendukung resolusi PBB tentang Iran, atau ribut – ribut tentang perjanjian ekstradisi dengan Singapura, merupakan gambaran masih ada jarak dunia diplomasi dari kehidupan publik dan itulah salah satu akar fragmentasi opini publik.

Melalui pendekatan diatas diharapkan para pelaku hubungan luar negeri dan terutama para SDM diplomat Indonesia mampu menjalan tugas diplomasinya dengan sebaik-baiknya. Untuk menjawab ini, perubahan manajemen dan struktur organisasi kelembagaan Deplu tampaknya tidak dapat dihindari. Namun, patut disayangkan elaborasi dari pemikiran pimpinan Deplu belum sepenuhnya terlaksana di tingkat pelaksana, sehingga hasilnya pun belum sesuai dengan harapannya.

Perwakilan Deplu Domestik perlu dipertimbangkan

Dalam kaitan ini, penting untuk mencermati UU tentang Otonomi Daerah terutama mengenai kewenangan daerah dalam melaksanakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri. Terlepas adanya perdebatan mengenai ketidaksesuaian antara UU Hublu dan Otda terutama dalam hal kewenangan daerah melakukan hubungan dengan pihak luar negeri, atau perdebatan mengenai hubungan luar negeri dan kebijakan luar negeri, dari kedua UU dapat ditafsirkan bahwa peran daerah – daerah akan semakin meningkat dan signifikan dalam menentukan bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga luar negeri. Mampukah Pejambon melakukan tugas koordinator dan kontrolnya yang begitu luas menjadi renungan serta pemikiran yang menantang yang dapat menjadi bahan diskusi yang menarik.

Dalam rangka melaksanakan hubungan kerjasama Daerah dengan pihak asing, Deplu telah menerbitkan buku “Panduan Umum : Tatacara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah”. Disamping itu Deplu juga telah menempatkan seorang stafnya di kantor Pemerintah Daerah masing-masing di Pemda Yogyakarta, Aceh dan Papua sebagai tugas perbantuan.

Penerbitan aturan petunjuk dan tugas perbantuan di Daerah merupakan perkembangan yang postif namun masih tidak mencukupi jika dilihat dari luas serta pentingnya tugas yang diemban. Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan untuk melembagakan kehadiran Deplu di daerah-daerah melalui suatu kebijakan nasional. Kebijakan ini sangat signifikan guna mendukung pelaksanaan hubungan luar negeri di daerah-daerah sebagai pelaksanaan kebijakan “one door policy”. Disamping itu Deplu dapat berperan sebagai kantor konsultan bagi para pelaku hubungan internasional di daerah baik itu lokal maupun asing. Ada banyak keuntungan nyata yang dapat diperoleh apabila Deplu membuka “kanwil” di daerah-daerah otonomi. Secara umum manfaat yang dapat dicapai antara lain yaitu:

  1. Terbentuknya pemahaman yang komprehensif mengenai kebutuhan daerah yang bisa dipenuhi melalui kerjasama dengan pihak luar negeri;
  2. Tercipta sinergi koordinasi kinerja antara Deplu, Pemerintah Daerah dan Perwakilan Indonesia di luar negeri sekaligus meningkatkan kinerja Perwakilan RI di luar negeri, sehingga agenda diplomasi tidak hanya kepada tataran nilai yang normatif tetapi juga bermuara pada kepentingan konkrit masyarakat di daerah;
  3. Mencegah terjadinya ‘kesalahan’ dalam pelaksanaan kerjasama internasional yang dilaksanakan oleh daerah yang akan berdampak negative;
  4. Mempermudah penyusunan kebijakan hubungan luar negeri yang lebih akurat dan membumi;
  5. Pejabat Dinas Luar Negeri Indonesia lebih membumi yakni mampu melihat berbagai potensi daerah yang dapat “dijual” di pasar internasional sebelum ditempatkan di luar negeri;
  6. Menciptakan mesin-mesin diplomasi yang tersebar di seluruh pelosok daerah sebagai bagian dari total diplomasi.

Bahwa sebagai salah satu departemen di kabinet, Deplu membuka perwakilan di daerah bukan hal yang aneh, mengingat Departemen teknis lainnya seperti Hankam, Agama, Hukum, Keuangan telah memainkan peranannya di berbagai daerah. Bahkan beberapa Negara lain juga telah melakukan strategi membuka Kemlu di daerah – daerahnya, salah satu contoh adalah Kemlu Cina. Keberhasilan Cina yang mampu menjadi kekuatan raksasa ekonomi dunia yang baru, tidak terlepas dari peran diplomasinya yang mampu menjadikan desa-desanya sebagai produk pasar dunia.

Sebaiknya kita lebih melihat politik luar negeri dengan kaca mata yang lebih “sederhana dan membumi” namun fokus yaitu sebagai instrument meningkatkan kemajuan pembangunan ekonomi nasional yang dimulai dengan promosi kepentingan daerah ke luar negeri dan bukan sebaliknya melihat hal-hal yang besar untuk kepentingan pencitraan diri namun tidak mendatangkan keuntungan ekonomi yang nyata. Akhirnya dengan lebih memperhatikan daerah kita berharap definisi kepentingan nasional semakin dapat dimaknai dan dimaterialkan dengan jelas. Hal ini pada akhirnya juga bermuara pada keutuhan Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Jakarta, 10 Juli 2005

No comments: