Wednesday, April 05, 2006

Deplu perlu membuka "Kanwil” di Daerah Otonomi


By Perry PADA

Representasi “international presence” dalam berbagai macam bentuk dan lebelnya telah lama beroperasi di berbagai propinsi / daerah di Indonesia dan hal ini merupakan konsekuensi logis atas komitmen-komitmen yang dibuat pemerintah Indonesia dengan berbagai institusi internasional baik formal maupun non formal. Sebagai contoh sebut saja badan internasional seperti kantor perwakilan-perwakilan asing, badan-badan UN, NGOs nasional yang berafiliasi dengan badan-badan internasional, proyek-proyek bantuan dan kerjasama internasional ataupun perusahaan-perusahaan multi nasional seperti Freeport di Papua, Exxon di Aceh dan lain sebagainya yang berjumlah cukup besar.

Representasi dari kehadiran lembaga-lembaga internasional didaerah-daerah sesuai dengan agenda dan kepentingan masing-masing juga tidak dapat dihindari langsung maupun tidak langsung akan berdampak cukup besar terhadap kehidupan sosial ekonomi dan politik daerah setempat. Persinggungan “asymmetrical” antara kepentingan asing dan lokal yang saling pengaruh tampaknya kurang mendapat perhatian yang cukup serius dari para peneliti kita dan terutama para penyusun kebijakan nasional.

Globalisasi isu domestik

Sadar maupun tidak definisi nasional dan internasional semakin kabur batasannya apabila dikontekstualkan dalam hubungan internasional. Keterkaitan isu domestik dan internasional telah semakin kental atau tidak dapat dipisahkan. Semua gambaran umum mengenai globalisasi tersebut telah berulangkali muncul dalam berbagai “ruang” diskusi para praktisi maupun intelektual kita namun sayangnya masih dalam batas ranah wacana dan kurang mendapat tanggapan serius ditingkat pengambil keputusan. Kata reaktif tampaknya sulit dihilangkan dalam kamus birokrasi kita dan akibatnya menjadi mahal harganya. Kita kaya dengan berbagai pengalaman buruk tersebut. Sebut saja isu – isu ‘politik’ yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia seperti isu HAM di Aceh, Poso, Maluku, Papua, dan berbagai tempat lainnya serta isu-isu perusakan lingkungan hidup, isu-isu korupsi ataupun penanganan berbagai peristiwa yang tidak diantisipasi sedini mungkin dan berakibat fatal bagi posisi Indonesia di percaturan politik internasional.

Pembentukan ‘task force’ yang sering tergesa-gesa merupakan salah satu contoh jelas betapa reaktifnya kita. Dalam kaitan ini, DR. CPF Luhulima pernah menulis artikel manarik berjudul ‘Globalisasi dan Manajemen Politik Luar Negeri’ (Kompas, 18 Januari 2001) yang dengan jelas menggambarkan mengenai akibat globalisasi yang akan merugikan kepentingan nasional apabila tidak dibarengi dengan penyesuaian struktur atau mekanisme dan manajemen pemerintah yang dapat berfungsi secara efektif, dalam hal ini khususnya menyoroti efektifitas peran Departemen Luar Negeri yang perlu didefinisikan kembali menghadapi isu-isu global.

Pendekatan Intermestik dan diplomasi publik

Adalah James Rosenau (Toward the Study of National and International Lingkages) yang disempurnakan oleh Robert D. Putnam (Diplomacy and Domestic Politics : The Logic of Two level Games) dan Peter Gourevitch (The Second Image Reversed: The International Sources of Domestic Politics) yang semuanya secara ringkas menggambarkan tesis yang sama tentang keterkaitan erat faktor-faktor domestik dalam menentukan sukses tidaknya peran diplomasi suatu negara untuk itu dibutuhkan strategi penyesuaian faktor-faktor domestic guna memperoleh posisi dalam percaturan internasional. Kemampuan penanganan masalah-masalah domestic dengan dan melalui penyesuaian struktur dan kebijakan sangat menentukan kiprah berhasil tidaknya foreign policy suatu Negara.

Dalam menanggapi mengglobalnya setiap domestic issu dan akibat dari munculnya pemain-pemain baru di bidang hubungan luar negeri, Menlu R.I. DR. Hasan Wirayuda dalam berbagai kesempatan di forum-forum nasional selalu meyampaikan mengenai pentingnya melaksanakan diplomasi total dengan mensitir ucapan Bung Hatta (Desember 1945) yang mengatakan bahwa politik luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam negerinya dan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia guna memperoleh hasil diplomacy yang maksimum. Oleh karenanya menurut Menlu, Diplomasi total akan berhasil apabila melalui 2 (dua) bentuk pendekatan yaitu pertama pemahaman faktor “Intermestik” yaitu kemampuan untuk mendekatkan jarak antara faktor internasional dan faktor domestik dan yang kedua adalah diplomasi public yaitu kemampuan mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri sehingga baik langsung maupun tidak langsung dapat tercipta suatu kebulatan pendapat dari semua komponen bangsa guna menentukan sikap dalam menghadapi dunia luar. Dengan kedua cara inilah apat dihindari fragmentasi opini publik di tingkat nasional. Lebih jauh diplomasi publik juga merupakan suatu upaya agar foreign policy dapat lebih menyentuh pada seluruh lapisan masyarakat, sehingga hasil manfaat dari suatu kebijakan luar negeri dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Selama ini masih dirasakan bahwa foreign policy adalah kebijakan yang elitis yang tidak membumi dan Deplu berdiri sebagai menara gading. Dengan kedua pendekatan ini diharapkan para pelaku hubungan luar negeri dan terutama para SDM diplomat Indonesia mampu menjalan tugas diplomasinya dengan sebaik-baiknya. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan diplomat yang intermestik, go public yang nantinya tentunya diharapkan mampu go international? Untuk menjawab ini, perubahan manajemen dan struktur organisasi kelembagaan Deplu tampaknya tidak dapat dihindari.

Perwakilan Deplu Domestik perlu dipertimbangkan

Deplu juga patut bersyukur karena telah dibekali dengan UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sebagai arah yang jelas bagi kelangsungan hubungan diplomatic Indonesia. Namun demikian UU Hublu tersebut juga memberikan justifikasi bahwa Deplu bukanlah lagi satu-satunya lembaga pelaksana hubungan luar negeri, karena dengan UU tersebut dalam pelaksanaannya pelaksana hubungan luar negeri telah dibagi rata dengan seluruh komponen bangsa. Dalam mengeluarkan suatu kebijakan rumusan “one-door policy” masih menjadi monopoli Deplu tapi rumusan kebijakan tentunya tidak dapat digolkan dengan mulus tanpa keterlibatan para pelaksana hubungan luar negeri dalam prosesnya. Khususnya pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga Negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga Negara Indonesia”.

Dalam kaitan ini, penting juga mengamati UU No 22/99 yang telah dirobah dengan UU no.32/1999 tentang Otonomi Daerah terutama pasal 7 (1) mengenai kewenangan daerah yang menyebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan bidang lain”. Sedangkan pasal 88 (1) mengenai kerjasama menyebutkan bahwa daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatrur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan pemerintah, sebagaimana dimaksud pasal 7. terlepas adanya perdebatan mengenai ketidaksesuaian antara UU Hublu dan Otda terutama dalam hal kewenangan daerah melakukan hubungan dengan pihak luar negeri, atau perdebatan mengenai hubungan luar negeri dan kebijakan luar negeri, dari kedua UU dapat ditafsirkan bahwa peran daerah –daerah akan semakin meningkat dan signifikan dalam menentukan bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga luar negeri. Mampukah Pejambon melakukan tugas koordinator dan kontrolnya yang begitu luas menjadi renungan dan diskusi menarik diusianya yang sudah cukup matang.

Sejalan dengan konsepsi pendekatan intermestik dan sesuai mandat yang tersirat dalam UU Hublu maupun pentingnya asistensi ‘expertise’ Deplu terhadap pemerintah daerah khususnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama daerah dengan pihak luar negeri maka tampaknya Deplu perlu untuk melembagakan pendekatan intermestik dan diplomasi publiknyanya dengan “membuka kanwil-nya” didaerah-daerah. Ada banyak keuntungan nyata yang dapat diperoleh apabila Deplu membuka “kanwil” didaerah-daerah otonomi. Antara lain ada sembilan factor yang dapat dicatat yaitu:

(1) pengembangan SDM Deplu yang mampu memahami pendekatan intermestik

(2) Diplomat Indonesia lebih membumi dalam pengertian mampu melihat potensi-potensi daerah yang dapat “dijual” di pasar internasional sebelum ditempatkan di luar negeri. Tercipta suatu nuansa pemahaman yang komprehensif mengenai kebutuhan daerah setempat

(3) Koordinasi kerja Deplu pejambon semakin cepat, efektif dan efesien dalam rangka koordinasi dengan pemerintah daerah

(4) mencegah terjadinya kesalah-pahaman terhadap kerjasama internasional daerah dan lembaga internasional yang akan merugikan daerah yang bersangkutan

(5) mendukung kinerja perwakilan-perwakilan RI yang tersebar di seluruh dunia.

(6) mengantisipasi “gerakan” lembaga-lembaga internasional yang telah “beroperasi” di daerah-daerah.

(7) meningkatkan awareness para stake-holder di daerah-daerah termasuk para NGOs dan private sector mengenai penting sikap kehati-hatian dalam melakukan kerjasama internasional

(8) mempermudah penyusunan kebijakan Deplu yang lebih akurat dan berhasil guna serta membumi.

(9) definisi kepentingan nasional semakin dapat dimaknai dengan jelas. Dan masih panjang daftar keuntungan yang dapat dimanfaatkan apabila deplu dapat memperluas jangkuannya. Hal ini bukan hal yang aneh, toh departemen teknis lainnya seprti Hankam, Agama, Hukum, Keuangan/fiscal telah memainkan peranannya di berbagai daerah.

Dengan strategi “devolution of engagement” tersebut banyak keuntungan lainnya yang sangat berguna sebagai asset ataupun amunisi dalam pelaksananaan diplomasi Indonesia di kancah internasional. Sebaiknya mesin-mesin penggerak diplomasi bergerak dan tersebar diseluruh Indonesia yang disinergikan melalui pejambon ke luar negeri, itulah total diplomasi.

Akhirnya dengan meminjam istilah “soft power”nya Joseph S. Nye. Jr. disini menjadi jelas bahwa potensi daerah merupakan “soft power” yang masih kita miliki yang mungkin dapat memperkuat diplomasi kita dimasa-masa mendatang.

Jakarta, 11 Agustus 2005

No comments: