Tuesday, April 11, 2006

Lembaga Swadaya Masyarakat: Apakah punya arti?

By Perry PADA

Kegagalan ‘trickle down effect’ pembangunan dan perhitungan ekonomi politik yang berbasis pada arogansi kekuasaan berakibat fatal sejak terjadinya krisis ekonomi melanda kawasan, menurunnya daya tahan ekonomi rakyat yang tidak mampu lagi di supply oleh negara berakibat runtuhnya kepercayaan rakyat atas institusi formal .

Hegemony kelas berbasis pertumbuhan yang dikuasai oleh negara tidak bertahan dan menjadi rentan ketika krisis ekonomi panjang tersebut terjadi.

Pertentangan kelas dalam strutur sosial masyarakat berpindah dengan tidak mulus. Konflik tingkat elit muncul ditatanan atas, akhirnya NGOs / LSM muncul sebagai alternatif atau sebagai jalan negosiasi, perubahan mendadak atas peta ekonomi politik pembangunan berakibat munculnya konflik sosial cukup parah sebagai jawaban yang sudah dapat diprediksi. Menjadi pertanyaan mendasar dalam paper singkat ini, mampukah NGOs dan LSM memperbaiki sekaligus menata ulang strutur pembangunan nasional kita yang kaya penampilan tetapi rapuh dalam ketahanannya? Sejauh mana elit politik pasca krisis dapat mempergunakan sekaligus membagunan modal sosial ini sebagai aset nasional yang berharga?.

Secara teori, difusi kekuasaan harus terjadi, tidak lagi berpusat berputar dalam benteng elite dan politisi apabila LSM masuk dan terlibat langsung dalam penataan pembangunan nasional, arogansi defensif elite harus dapat dihindari dengan memberikan kesempat semua pihak berpartisipasi menentukan kebijakan publik, baik wacana maupun praksis, sehingga diharapkan terjadi kompatibilitas antara demand/needs public sphere dengan output policy birokrasi diberbagai sektor pembangunan nasional. Tetapi dapatkah negara mengurangi peranannya di berbagai sektor dan punyakah kita LSM yang secara netral mendukung penguatan ruang publik dan menjadi aset pembangunan nasional dalam pengertian mengambil alih secara aktif peranan pemerintah tersebut?

Tidak mudah memberikan jawaban atas pertanyaan sederhana tersebut, selain analisa teory, pembuktian empiri mungkin lebih dibutuhkan. Seperti yang telah diuraikan dalam definisi Gramsci, yang memakai terminologi arena dan kelompok alternatif diluar domain state dan market. Pemahaman ini menempatkan LSM sebagai struktur kelas yang berhadapan dengan hegemony pemerintah. Gramsci melihat pertentangan kelas harus muncul sebagai alternatif diluar hegemony peran negara. Secara singkat, asal usul ‘civil society’ termasuk didalamnya NGO atau LSM itu sendiri sebenarnya bermula muncul dari pemahaman konsepsi barat, akibat terjadinya kemacetan paradigma pemikiran sosial dan politik sekitar abad 17 dan 18.

Krisis yang terjadi diberbagai kawasan barat akibat perubahan sosial luar biasa seperti pertumbuhan ekonomi pasar, komersialisasi tanah, buruh dan modal; penemuan ilmiah dan berbagai revolusi sosial di Amerika dan Eropa, semua mengarah kepada tuntututan penataan ulang tatanan sosial dan menentang pendekatan negara sebagai pusat hegemony kekuasaan atau single otonomy. Walaupun demikian, pendekatan teori tidak selamanya tepat, dalam konteks negara berkembang berbeda dengan pendekatan konsep barat ataupun konsep marxian.

Dalam konsepsi barat ‘civil society’ muncul lebih dahulu sebelum negara terbentuk dan dilain pihak konsep marxian adalah protes terhadap kuatnya kapitalis dan kaum feodalis yang digerakkan oleh ‘civil society’ tersebut, seperti misalnya pertentangan kelas pekerja dan pemilik modal hak-hak buruh dan lain sebagainya yang kemudian berkembang sebagai cikal bakal gerakan sosial anti globalisasi yang merebak saat ini.

Munculnya NGOs atau LSM di Indonesia jauh berbeda dengan akar pemahaman NGOs konsepsi barat tersebut. Menengok sejarah pertumbuhan kelas menengah di Indonesia berbeda dengan pertumbuhan kelas menegah di Eropa Misalnya, asal-usul kelas menengah Indonesia kebanyakan tidak tumbuh dari bawah dan tidak mengalami proses inseminasi yang panjang dan matang, lebih banyak terjadi secara instan dan karbitan negara melaui kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kepentingan kelompok kecil itu. Atau paling tidak muncul sebagai suatu reaksi bukan sebagai suatu kebutuhan yang bersumber dari bawah.

LSM ‘independen’ baru muncul sebagai alternatif gerakan sosial akibat peran pasar yang begitu kuat yang berakibat terjadinya perubahan struktur yang berbentuk tumbuhnya sektor-sektor industri modern di wilayah perkotaan. Ditambah dominasi peran negara yang terlalu kuat untuk memantain pertumbuhan tersebut untuk kepentingan golongan atas. Gerakan ini mulai pertumbuh semakin kuat sejak periode Orde Baru dan mencapai momentumnya ketika negara tidak lagi mampu mengontrol dominasi kekuasaanya. Gerakan LSM muncul sebagai tuntutan reaksioner dan masih terbatas pada pembentukan dedominisasi sebagai protes hegemony pemerintah dalam semua sektor pembangunan sehingga belum berakar sebagai gerakan otonom guna pemberdayaan ruang publik.

Dapat dikatakan bahwa konsepsi kelas menengah ataupun LSM di Indonesia masih samar, karena orang dapat mengatakan gerakan ini sebagai celebration akibat loosenya kontrol pemerintah. Menjamur nya NGOs dan LSM di Indonesia sulit untuk diprediksi, apakah akan memacu pembangunan dan meningkat proses demokratisasi ekonomi ataupun politik atau sebaliknya (dalam paper kecil ini, saya tidak bisa memberikan jawaban atas persoalan tersebut) tetapi yang sedang dikembangkan adalah lebih baik memiliki banyak NGOs / LSM yang independen dan mengarahkan LSM itu sebagai partner pembangunan melalului mekanisme kerjasama yang loose. Ini penting dari pada mengulangi sejarah sebelum 1998, paling tidak LSM dapat difungsikan sebagai modal sosial, sekaligus berfungsi sebagai kontrol laju pembangunan yang tidak mengabaikan kepentingan ekonomi kecil, hal ini akan menempatkan gerakan tersebut sebagai modal sosial dalam menentukan kebijakan.

Sektor garapan LSM sendiri sudah sangat luas, mulai dari kelompok sosial, ekonomi dan politik dan hukum. Dalam point ini, perlu juga diangkat dan tidak menutup asumsi bahwa tumbuhnya LSM tidak dapat terlepas dari peran negara dan pembagunan semasa orde baru. Munculnya kelas menengah Indonesia umumnya karena dikehendaki oleh negara sayangnya model patron yang di lakukan oleh negara membentuk LSM yang tidak independen, karena LSM seperti ini muncul karena berhasil menikmati hasil pembangunan seperti booming oil dan pinjaman luar negeri yang berlimpah. Model LSM ini umumnya sering mementingkan akses keatas, kesumber-sumber kekuasaan dan sumber-sumber dana dari pada pemberdayaan kepentingan rakyat.

Kompleksitas dan kemandirian NGOs / LSM

Pertanyaan menarik yang perlu pemikiran bersama yaitu: mengapa masyarakat pedesaan, seperti petani, nelayan, masyarakat tradisional pada umumnya maupun kaum miskin kota, dan kelompok-kelompok marginal lainnya tidak meningkat kualitas hidupnya dari masa ke masa ditengah hebat pola konsumerisme di pusat perkotaan? Dan ditengah munculnya LSM-LSM saat ini? Salah satu jawaban penting dari pokok pertanyaan tersebut adalah kelompok–kelompok itu tidak mempunyai akses yang berarti pada pusat-pusat kekuasaan yang memutuskan keputusan-keputusan politik-ekonomi yang akan mempengaruhi kehidupan kelompok-kelompok marginal itu. Apakah kita memiliki LSM yang secara mandiri mampu berfungsi sebagai mediator dan mewakili kepentingan marginal, sulit unutk mendapat jawaban yang tepat. Walaupun kita tidak menutup mata bahwa gerakan pelayanan sosial yang dilakukan oleh LSM-LSM telah memberikan indikator kearah itu. Tetapi indikator lemahnya pertumbuhan daerah rakyat marginal mungkin karena ada kecenderungan LSM/NGOs lebih senang menggarap lahan yang subur yang bisa menghasilkan sesuatu demi kepentingan kelompoknya.

Sulit untuk di analisa indentitas dari NGOs dan LSM yang ada di Indonesia. Belum terlihat adanya penelitian atas menjamurnya NGOs/LSM yang mengatasnamakan kelompok merginal dalam pengertian “real”. Mungkin paling tidak ada 4 model LSM yang dapat kita identifikasi. (1) LSM Patron (Birokrat patron), seperti yang diuraikan ditas LSM ini dibentuk berdasarkan rekomendasi negara guna mendukung kebijakan publik, misalnya, berapa banyak NGOs atau LSM yang berafiliasi dan hidup dari sumber kekuasaan negara; (2) LSM yang berafiliasi dengan partai politik, sebagai lembaga kampanye politik pemenangan pemilu (3) LSM yang ‘quasi-independen’ atau tidak dibiayai oleh ‘APBN’, akan tetapi dibiayai oleh pihak sponsor asing, LSM semacam ini juga diragukan niatnya karena LSM ini cenderung memiliki modal besar dan membawa agenda sponsor yang tersembunyi (As there is increasingly a single donor agency for specified activity, the choice are severely circumsribed; you either play by donor’s rule, or there are no funds) atau LSM yang purely independen. Yang terakhir ini sulit didefinisikan karena ownership-nya (seperti ‘private foundations’) jelas juga akan banyak mempengaruhi gerakan LSM tersebut.

Persoalan lain adalah NGOs internasional yang secara transparan atau tidak masuk kedalam ruang-ruang publik yang sulit terindentifikasi tujuan utamanya. Sehingga ukuran paling sederhana yang dapat dipakai adalah berpusat dari kemandirian dan orientasi LSM itu sendiri karena banyak pula LSM yang bergerak seperti perusahaan dengan memanfaat kaum marginal dan ‘tertindas’ sebagai obyek proposal permintaan dana asing seperti yang sedang menjamur saat ini.

Persoalan menjadi sulit karena pertumbuhan LSM tidak lepas dari sumber pendanaannya dan kualitas SDMnya sendiri. Mampukan LSM hidup tanpa donor? Sulit untuk dijawab dan merupakan persoalan yang dilematis lebih dari pada gerakan alternatif. Sehingga mungkin perlu juga dicermati ideologi dasar dari pertumbuhan dan gerakan LSM yang sedang menjamur saat ini. Istilah ‘donor trap’ merupakan persoalan yang harus diperhatikan oleh LSM-LSM yang baru dan kurang berpengalaman. Semua itu memerlukan penelitian empiris guna membuktikan asumsi-asumsi tersebut diatas.

Brussel, Juli 2002




1. Lihat uraian Adam B. Seligman: The Idea of Civil Society. 1992. Tulisan Locke dan Rousseu tentang kontrak sosial dan Immanuel Kant tentang entity otonom antara negara dan civil society, semuanya dapat menjadi acuan sejarah gagasan ‘civil society’. Demikian pula uraian alternatif menarik dari Hegelian yang ditindaklanjuti oleh Marxian School khususnya pertentangan kelas borjuasi yang mengarah kepada faham sosialisme yang utopis bila diperhadapkan dan dipertentangkan dengan pemahaman kapitalis Fukuyama atau post modernism Descrates yang melihat kompetisi sebagai mesin pembangunan.

2. Sejarah kelas menegah Indonesia yang merupakan akar dari pertumbuhan LSM di Indonesia dapat dilihat kembali dari literatur Geertz ataupun Lombart yang membagi struktur masyarakat Indonesai dalam (1) golongan priyai sebagi ruler; (2) golongan santri sebagai kelas menegah dan (3) wong cilik sebagai ruled.

3. Komentar Prof. Sam Noumoff (2000)

No comments: