[Dimuat dalam Majalah Pledoi No.3/Mei 2006]
Sejarah suram pers nasional dibawah pemerintahan Orde Baru telah menempatkan pers sebagai bagian dari ‘ideological state apparatus’ yang berperan dalam proses menjaga stabilitas, legitimasi dan eksistensi rezim. Dengan kata lain, pers telah difungsikan menjadi salah satu alat ampuh untuk melanggengkan posisi para elite dalam pemerintahan Orde Baru (‘the media serve the ends of a dominant’).
Salah satu upaya rekayasa konstitusional untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dilaksanakan melalui undang-undang Pers No.11 tahun 1966, yang menyebutkan bahwa
Jakob Oetama (2001), menggambarkan bahwa selama 30 tahun hingga menjelang perubahan politik pada medio Mei 1998 pers yang lulus seleksi ketat dengan monopoli kriteria rezim Orde Baru hanya berjumlah 289 buah dan belum setahun usia reformasi 1999 jumlah surat ijin terbit baru adalah 582 buah, dua kali lipat dibandingkan dalam hitungan 30 tahun. Berbeda dengan hitungan Angela Romano (2002) yang menyebutkan bahwa: It is estimated that between the time of Soeharto resignation and the September 1999 passage of law No.40 on the Press, the Department of Information handed out 1800 to 2000 licences.
Daniel Dhakadie (1991) dalam penelitiannya mengenai sejarah pers di
Oleh karena itu, persoalan sebenarnya bukan hanya terletak pada masalah kemudahan, kebebasan, perijinan atau sensor/kontrol pers tetapi juga yang harus menjadi perhatiannya adalah sejauh mana kebebasan pers memberikan dampak terhadap perubahan struktur sosial yang ada (stage of social development of any societies)?.
Kebebasan pers : seperti apa?
Adalah Miezeslaw Kafel (1958) yang mengatakan system pers dan system politik di sebuah negara biasanya saling mewarnai (interdependent). Menurutnya bila peran pers meningkat, maka pers menjadi variabel yang berpengaruh terhadap perubahan sosial politik yaitu terjadi perubahan kondisi masyarakat dan kehidupan politik. Dengan kata lain idealnya dengan adanya kehidupan pers yang bebas, diharapkan proses demokratisasi dapat berkembang secara sehat dan berangsur-angsur diharapkan publik mulai menyadari hak-hak sipil mereka antara lain hak untuk mengemukakan pikiran, pendapat, dan berekspresi secara bebas.
Peniliti media AS, Timothy E. Cook (1998) dalam salah satu karyanya yaitu “Governing with the News” lebih ekstrim menggambarkan perkembangan pers sebagai bentuk baru dari institusi politik dan lebih jauh berpendapat terjadi perubahan fungsi para jurnalis yaitu dapat berperan aktif sebagai aktor-aktor politik yang dapat membentuk dan mempengaruhi jalannya system politik. Berbeda dengan Robert W. McChesney(1997) yang melontarkan peringatan positif yakni tidak selalu kebebasan pers akan melahirkan demokrasi karena yang terjadi dapat sebaliknya yaitu semakin banyak media semakin buruk wajah demokrasi--“Rich media, poor democracy” Asumsi menarik digambarkan oleh Chesney yaitu disamping korelasi positifnya, terdapat korelasi negatif antara kebebasan pers dan proses demokratisasi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, di era kemenangan rezim pasar yang begitu gemilang, media dapat mendikte preferensi publik tentang banyak hal antara lain barang kebutuhan, pola konsumsi,
Tidak dapat dihindari bahwa dengan longgarnya state control secara otomatis beralih kepada market regulation dan tampaknya paradigma ini belum berubah dan tidak tersentuh oleh gejolak tuntutan reformasi di
Fenomena ini dapat terlihat dari kebebasan pers pasca Orde Baru yang oleh sebagian besar pengamat media masih dianggap semakin mengarah kepada kepentingan ekspansi dan akumulasi modal dan belum dapat berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan ruang publik yang kondusif bagi pemberdayaan aspek-aspek kehidupan rakyat kecil atau lebih popular dengan ‘proyek pencerahan’. Terjadi invisible control yang sulit terdeteksi oleh masyarakat marjinal bahwa sebenarnya dibalik penyampaian pesan dan image terjadi penggiringan pemahaman masyarakat (manufacturing consent) yang berpihak kepada kelas elit melalui pers yang bebas. Sehingga pada akhirnya dikuatirkan kebebasan pers tersebut akan digiring oleh selera pasar dan kepentingan politik sesaat serta akumulasi modal sehingga kualitas dalam kerangka proses pendidikan demokrasi menjadi semakin rendah dan lemah (public depolitization).
Kebebasan Pers : mau kemana?
Dilematis bagi industri pers adalah antara lain: pertama, pers tidak lagi bernuansa pembangunan tetapi lebih terseret oleh masalah survival sehingga fungsi framing pers atau pemilihan dan pemilahan isu cenderung memenuhi permintaan pasar khususnya pasar iklan dalam pengertian yang luas termasuk iklan politik agar mampu bertahan (Selected and ordered framing). Media yang menyuarakan dialog publik tanpa memperhatikan ‘selera publik’ yang sedang trend saat itu tentunya sulit untuk bertahan lama. Kedua, tidak dapat disangkal pula bahwa framing isu yang memiliki arti signifikan dalam kerangka transparansi dan pembentukan image juga tidak dapat bertentangan dengan ekspansi dan akumulasi modal para pemilik modal dan elit politik. Ketiga, isu-isu sosial yang tidak memiliki nilai jual cenderung akan dikesampingkan oleh pers atau diolah oleh pers menjadi suatu komiditi garapan atau strategi.
Jarang pers menggarap isu pada segmen masyarakat kecil yang hidup bertani di kaki gunung atau nelayan yang berjuang ditengah laut atau kehidupan toleransi umat beragama yang subur, tetapi lebih senang mencover isu konflik dan krisis atau public figure yang akan diminati oleh para politisi, free rider, pemilik modal atau kelas menengah yang melihatnya entah sebagai ancaman, potensi keuntungan, investasi politik atau adjustment strategy dalam meningkatkan kehidupan sosial-politiknya. Sangat jarang media berperan sebagai alat untuk membangunan kesadaran politik rakyat atau pembentukan opini publik terhadap suatu isu kebijakan publik, kalaupun ada tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhannya.
Tiga syarat utama terbentuknya masyarakat yang demokratis, yang harus dipakai sebagai indikator kebebasan pers yang mampu memberikan dampak langsung terhadap perubahan kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakat, adalah:
- Secara berangsur mempersempit ketimpangan sosial dalam masyarakat;
- Terbentuknya kesadaran hukum dan politik kolektif untuk menempatkan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi dan
- Adanya komunikasi politik yang memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam proses pembentukan kebijakan publik dengan demikian selanjutnya diharapkan dapat membentuk suatu ruang publik yang demokratis (public sphere).
Pada saat Orde Baru berkuasa, gambaran mengenai keberadaan ruang public adalah jelas, karena ruang publik memang tidak pernah muncul karena tenggelam dalam proyek propaganda. Namun pada saat rezim baru datang dan berganti, tidak terdapat perubahan yang signifikan karena ruang publik tetap tidak muncul tetapi industri dan komersialisasi berita yang semakin tampak. Berita menjadi pesanan dan para pemred, sadar ataupun tidak, terjebak menjadi elite yang ikut bermain. Berita yang mempunyai nilai jual menjadi perhatian pers dengan standar dan kalkulasi pasar seperti target pembaca dan segmen masyarakat potensi pasar.
Tampaknya, kaidah itu semakin inheren dalam praktek kebebasan pers saat ini. Lihat saja sinetron-sinetron dan tabloid-tabloid yang semakin merjalela. Sehingga sangat disayangkan terkadang fungsi editorial yang seharusnya aktualisasi dari suatu keahlian pers dalam menganalisa realitas sosial terjebak dan terbelenggu dalam kepentingan pasar bebas dan sama sekali tidak memuat upaya peningkatan kesadaran rakyat mengenai dinamika sosial budaya rakyat, tetapi cenderung dipaksakan masuk dalam domain pasar dan komoditas politis dan inilah keanehan yang terjadi di era so-called reformasi yang saat ini kita sedang nikmati.
1 comment:
thank you for your article!!
Post a Comment