Konsepsi ruang publik sulit untuk dibicarakan secara tuntas dalam paper singkat ini karena menyangkut teori demokrasi yang sangat luas cakupannya. Idealnya konsepsi kebebasan pers adalah sejalan dengan penciptaan ruang publik untuk itu target audience pers seharusnya lebih berkonotasi kepada pemberdayaan segmen rakyat kecil sehingga diharapkan secara bertahap mereka dapat keluar dari lingkaran peran sebagai komoditas dan passive audience.
Jurgen Habermas dari
“By public sphere we mean first of all a domain of our social life in which such a thing as public opinion can be formed. Access to the public sphere is open to all citizens. A portion of the public sphere is constituted in every conversation in which private persons come together to form a public. When public is large, this kind of communication requires certain means of dissemination and influence; today, newspapers and periodicals, radio and television are the media of the public sphere. We speak of a political public sphere when the public discussion concern objects connected with the practice of the state.” (Habermas, 1991:398)
Tetapi tampaknya pemahaman konsepsi tersebut lebih tepat bila dikontekstualkan dalam konsepsi ruang public untuk masyarakat barat. Untuk masyarakat dinegara berkembang khususnya
Hal ini juga disebabkan kemampuan masyarakat yang masih belum dapat mendukung terciptanya ruang public (Vulnerable society). Ketidakmampuan tersebut antara lain disebabkan oleh factor lemahnya tingkat kesadaran sosial ekonomi dan pengetahuan rakyat dalam segala aspeknya untuk dapat dalam memformulasikan kehendak bebasnya dengan baik terhadap menu aspek-aspek sosial yang terjadi disekitarnya, sehingga gambaran mengenai so called public demand menjadi semakin tidak jelas.
Fenomena yang nampak adalah masyarakat marginal tidak mampu merumuskan resistensi (public resistancy) terhadap suatu public policy sehingga tetap menjadi obyek dan konsumen dari ketidakpastian pasar. Teori komunikasi
“…..And there’s a logic behind it. There’s even a kind of compelling moral principle behind it. The compelling moral principle is that the mass public are just too stupid to be able to understand things. If they try to participate in managing their own affairs, they’re just going to cause trouble. Therefore, it would be immoral and improper to permit them to do this”.(2)
Orde baru adalah periode panjang dimana ruang publik tenggelam oleh proyek-proyek propaganda Negara. Ruang publik tak ubahnya ruang pendudukan atas kesadaran kolektif masyarakat oleh hegemoni penguasa melalui praktek legitimasinya. Media masa idealnya menjadi arena yang bebas nilai dan netral dalam prakteknya menjadi saluran bagi gagasan-gagasan yang tidak bertentangan dengan kepentingan status quo atau pandangan kelompok dominan.
Hal ini dapat terjadi karena system media dan komunikasi telah dikontrol sedemikian rupa sehingga menciptakan mekanisme perlindungan bagi penguasa dari berbagai kritisisme dan perlawanan masyarakat.(3) Demikian pula pewadah-tunggalan dan homogenisasi telah menempatkan kawasan publik dalam posisi subordinate dihadapan penguasa dan pers diciptakan mendukung proses tersebut.
Masa transisi (post Soeharto) sebenarnya adalah periode yang tepat untuk menciptakan ruang publik dimana terjadi tarik menarik dan kekaburan ideologi Negara atau lebih tepatnya terjadi wacana bebas untuk melakukan redefinisi terhadap suatu believe system yang tidak mungkin terjadi pada masa authoritarian system. Persoalannya adalah masa transisi dipenuhi oleh konflik mencari bentuk demokrasi yang berjalan negative dan dipengaruhi oleh kepentingan politisi dan kelompok antara pendatang baru dan pengikut rezim lama yang di frame dan eksploitir oleh pers bebas sebagai komoditas sehingga harapan penciptaan ruang publik sebaliknya menjadi kebingungan publik dan menjadi komoditas bagi pers bebas.
Masyarakat menjadi terombang ambing dalam konflik di ruang birokrasi, ruang elite, dan ruang pasar. Sebagai contoh bagi masyarakat kecil yang hanya memikirkan pemenuhan kehidupan dasar, ikut demonstrasi tidak mencerminkan kehendak sosial politiknya tetapi lebih menjadi suatu alternative profesi baru untuk survival. Bagi pers bebas peliputan maraknya demonstrasi kembali menjadi komoditas yang mempunyai nilai jual dalam peningkatan oplah. Sehingga secara jelas gambaran pers yang bebas dan pers yang dikontrol tampaknya mempunyai asumsi nilai yang homogen yaitu belum berhasil menciptakan ruang publik tempat bersemayamnya benih-benih demokrasi.
Upaya pembenahan peran kebebasan pers
Dibawah spirit reformasi, serangkaian UU tentang kebebasan pers muncul. UU No. 40/1999 tentang kebebasan pers merupakan salah satu upaya konstitusional yang telah dilaksanakan lembaga legislative Tampaknya UU tersebut merupakan jawaban atas tuntutan reformasi yang bergulir. Menurut Romano: The 1999 law rescinded the requirement for publikation to obtain SIUPP lincences, meaning that new publications can be set up at will.(4) Pasal 6 UU Pers secara jelas mengisyaratkan nilai-nilai demokrasi yang harus diemban oleh pers nasional yaitu:(5)
- memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
- menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak AsasiManusia, serta menghormati kebhinekaan;
- mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
- melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan denga kepentingan umum;
- memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dr. Astrid Susanto mengisyaratkan tiga hal pokok bagi kekebasan pers yang sehat yaitu (1) memenuhi kepentingan umum (2) mencerdaskan bangsa (3) berlangsung secara demokratik. Sebagai langkah demokratisasi dikatakan bahwa pihak pemerintah kini dirancang untuk sama-sama ‘bersaing pendapat’ dengan pendapat umum lainnya yang menggunakan saluran swasta maupun saluran komunitas publik. Dengan demikian posisi penguasa telah diturunkan menjadi salah satu pihak yang juga ikut bersaing memperebutkan dukungan masyarakat luas bagi gagasan–gagasan dan langkah-langkah sosial, politik, ekonomi serta hukum yang dilakukan pemerintah. 6) Lebih lanjut dikatakan Astrid bahwa kebebasan pers tidak terlepas dari proses politik dan bukan lex specialis, sehingga selalu terkait dan tunduk pada UU yang berlaku bagi semua warga secara sama. Dengan demikian pers tetap menyatu dengan publik yang dilayani, hal mana menjadi raison d’tre bagi eksistensi pers.
Rumusan secara legalistik formal tampaknya belum akan menjawab persoalan secara tuntas, karena akan sulit dipahami apabila ada undang-undang dapat mencakup dan mengatur pasar bebas. Sehinga asas-asas yang ‘baik’ sebagai filosofi atau raison d’tre dari perundang-undangan akan tetap tinggal sebagai retorika positif mengenai penting proses demokratisasi tetapi tidak menyentuh persoalan dasar yaitu antara lain saluran pendidikan politik rakyat atau pers yang mengemban misi pencerahan. Apakah nilai – nilai demokrasi tersebut dalam UU No.40 sudah tercermin dalam pemberitaan media masa, dan bagaimana dapat mengukurnya?.
Adalah tepat bahwa eksistensi pers juga tidak terlepas dari pengawasan masyarakat karena media yang yang tidak lagi dipercaya oleh publik dengan sendirinya akan tersingkir, sebab publik yang cerdas menghendaki pers yang mengutamakan kepentingan umum dan bukan kepentingan politik pemilik modal atau pribadi pemimpin redaksi atau kepentingan politisi. Oleh karena itu kebebasan pers bukan semata-mata kepentingan industri pers, pemilik modal ataupun jurnalisnya tetapi kebebasan pers adalah hak publik, sebagai refleksi dari hak asasi, sebagai konsekuensi logis dari hak sipil, hak untuk mengetahui dan mendapat akses informasi.
Perkembangan dunia pers yang begitu cepat jangan semata-mata merupakan euphoria dari kebebasan atau replikasi dari pemahaman budaya liberal dalam konsep barat dan upaya akumulasi modal yang akhirnya terjabak dalam asas pasar tetapi suatu cita-cita atau misi untuk memberdayakan rakyat kecil yang terbelakang. Harapan terakhir tampaknya terletak kepada para jurnalis yang idealis, independen dan memiliki integritas dan para aktor intelektual yang berideologi kerakyatan dan mandiri serta lahir dari kelompok yang tersubordinasi.
Depok, April 2006