Oleh: Perry PADA
Berbagai bentuk perwakilan lembaga internasional telah cukup lama beroperasi di berbagai pelosok daerah di tanah air. Sebagai contoh, sebut saja, badan-badan UN, kantor-kantor NGOs Internasional dan LSM-LSM nasional yang didanai institusi asing. Belum lagi proyek-proyek bantuan asing dalam rangka kerjasama internasional, atau perusahaan-perusahaan multi nasional seperti Freeport, Exxon, Mobil Oil, ataupun P.T. Ali baba dan lain sebagainya.
Persinggungan langsung antara kepentingan daerah dan proyek asing tampaknya kurang mendapat perhatian para penyusun kebijakan nasional terutama dampaknya terhadap proses perubahan kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakat di daerah. Sebenarnya dengan semakin maraknya unsur asing di daerah merupakan tantangan dan kesempatan positif bagi pelaksanaan Politik Luar Negeri kita. Namun sayangnya upaya menuju kearah itu masih terus dalam ranah diskursus dan masih terbentur oleh arogansi sektoral dan birokrasi.
Kita sadar bahwa globalisasi menuntut penyusaian kebijakan dan program pembangunan dan hal tersebut merupakan suatu kebutuhan nasional guna mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di berbagai level kehidupan masyarakat. Namun, persoalannya adalah sejauh mana kita mampu menyusun suatu kebijakan dan program guna memperdayakan masyarakat, khususnya di level daerah/provinsi sehingga diharapkan mampu meraih kesempatan dan menghindari kerugian akibat globalisasi. Berangkat dari pemahaman tersebut maka dibutuhkan suatu sinergi yang integrated antara pusat dan daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh.
UU Otda da Hublu
Dalam rangka mengantisipasi, mengakomodasi perubahan pola hubungan luar negeri disamping sekaligus menyelaraskan arus global dan berbagai kepentingan nasional dalam setiap level of interst, Indonesia telah mengundangkan UU No. 37/1999 tentang hubungan luar negeri. UU Hublu tersebut juga memberikan justifikasi bahwa pemerintah bukanlah lagi satu-satunya lembaga pelaksana hubungan luar negeri. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa :”Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional ynag dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.”
Dilain pihak UU No 22/99 dan UU no.32/1999 tentang Otonomi Daerah Khusus mengenai hubungan Luar negeri, pasal 88 (1) menyebutkan bahwa daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan pemerintah di bidang (1) Politik Luar Negeri, (2) Pertahanan Keamanan, (3) Peradilan, (4) Moneter dan Fiscal, (5) Agama, serta kewenangan bidang lain.
Terlepas adanya diskursus mengenai definisi “hubungan luar negeri” dan “kebijakan luar negeri”, namun jelas dari kedua UU diatas telah memberikan jaminan konstitusional dan peran yang sangat besar kepada daerah–daerah dan para pelaku hubungan luar negeri di daerah dalam menentukan bentuk kerjasama dengan negara dan atau lembaga-lembaga luar negeri. Dengan kata lain diplomasi tidak lagi monopoli pemerintah pusat tetapi merupakan pekerjaan berbagai elemen di daerah. Dengan UU tersebut maka pelaksanaan hubungan luar negeri telah dibagi rata dengan seluruh komponen bangsa.
Perlukah Peranan Deplu di Daerah?
Dalam rangka melaksanakan hubungan kerjasama Daerah dengan pihak asing, Deplu di tahun 2003 telah menerbitkan buku ‘Panduan Umum : Tatacara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah”. Disamping itu Deplu juga telah menempatkan seorang stafnya di kantor Pemerintah Daerah masing-masing di Pemda Yogyakarta, Aceh dan Papua sebagai tugas perbantuan.
Penerbitan aturan petunjuk dan tugas perbantuan di Daerah merupakan perkembangan yang postif namun tidak cukup sampai disitu. Pemerintah Pusat Perlu dipertimbangkan untuk melembagakan kehadiran Deplu di daerah-daerah melalui suatu kebijakan nasional. Kebijakan ini sangat signifikan guna mendukung pelaksanaan hubungan luar negeri di daerah-daerah sebagai pelaksanaan kebijakan “one door policy”. Disamping itu Deplu dapat berperan sebagai kantor konsultan bagi para pelaku hubungan internasional di daerah baik itu local maupun asing. Ada banyak keuntungan nyata yang dapat diperoleh apabila Deplu membuka “kanwil” didaerah-daerah otonomi. Secara konsep antara lain manfaat yang dapat dicatat yaitu:
(1)Terdapat peta pemahaman yang komprehensif mengenai kebutuhan daerah yang bisa diatasi melalui kerjasama dengan pihak asing.
(2)Tercipta sinergi koordinasi kinerja antara Deplu, Pemerintah Daerah dan Perwakilan Indonesia di luar negeri sekaligus meningkatkan kinerja Perwakilan RI di luar negeri.
(3) Mencegah terjadinya ‘kesalahan’ kerjasama internasional yang dilaksanakan oleh daerah yang akan berdampak negative.
(4) Mempermudah penyusunan kebijakan hubungan luar negeri yang lebih akurat dan membumi.
(5) Pejabat Dinas Luar Negeri Indonesia lebih membumi yakni mampu melihat berbagai potensi daerah yang dapat “dijual” di pasar internasional sebelum ditempatkan di luar negeri.
(6) Menciptakan mesin-mesin diplomasi yang tersebar di seluruh pelosok daerah sebagai bagian dari total diplomasi.
Deplu membuka perwakilan di daerah bukan hal yang aneh, mengingat Departemen teknis lainnya seperti Hankam, Agama, Hukum, Keuangan telah memainkan peranannya di berbagai daerah. Atau kita bisa menengok bagaimana negara lain yang telah melakukan strategi membuka Kemlu di daerah – daerahnya, salah satu contoh adalah Kemlu China.
Sebaiknya kita lebih melihat politik luar negeri dengan kaca mata yang lebih “sederhana dan membumi” namun fokus yaitu sebagai instrument meningkatkan kemajuan pembangunan ekonomi nasional yang dimulai dengan promosi kepentingan daerah ke luar negeri dan bukan sebaliknya melihat hal-hal yang besar untuk kepentingan pencitraan diri namun tidak mendatangkan keuntungan ekonomi yang nyata. Akhirnya dengan lebih memperhatikan daerah kita berharap definisi kepentingan nasional semakin dapat dimaknai dan dimaterialkan dengan jelas.
Citayam, November 2006
2 comments:
Another excellent entry with concrete proposals. The problem in Indonesia still lies with the so-called "arogansi sektoral". It's very thought provoking. I ask myself though, if this could be materialized, or at least discussed, in a high-level meeting. Resistance would be strong.
This was lovely thanks for sharing
Post a Comment